Pristiwa.com | JAKARTA – Me-recall kembali pada 7 September 2004 lalu, hari ini, tepat 17 tahun wafatnya aktivis HAM, Munir Said Thalib. Ironisnya, 17 tahun berlalu, dalang di balik kematian Munir masih menyisakan tanda tanya. Alih-alih mengupas tuntas, pemerintah seolah memang tidak memiliki political will untuk mengungkap aktor intelektual dalam pembunuhan Munir.
stagnasi berarti sesuatu yang mengalami perlambatan atau hambatan.
Padahal, kronologis peristiwa kasus Munir mulai dari penyebab tewasnya karena diracun, keterlibatan Garuda Indonesia sebagai maskapai penerbangan yang dinaikinya dalam perjalanan menuju Amsterdam, hingga temuan Tim Pencari Fakta (TPF), disebutkan bahwa ada keterlibatan aktor-aktor negara.
Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, mengatakan berbagai rentetan tersebut seharusnya menjadi refleksi bahwa pembunuhan kasus Munir ini merupakan kejahatan yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu ‘sistemik dan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil’ sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 UU Pengadilan HAM.
“Oleh karena itu, SETARA Institute mendesak Komnas HAM untuk segera menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM Berat. Penetapan sebagai pelanggaran HAM Berat ini menjadi urgensi yang nyata mengingat masa daluwarsa kasus Munir akan berakhir dalam satu tahun lagi,” ujar Ismail seperti dikutip dari siaran pers di Jakarta, Selasa (7/9).
Dengan penetapan sebagai pelanggaran HAM Berat, katanya, upaya pengungkapan kasus Munir tidak akan terbatasi oleh waktu daluwarsa dan juga berbagai upaya-upaya khusus yang lebih masif dan progresif dapat dilakukan sehingga menjadi harapan baru bagi pengungkapan tabir pembunuhan Munir.
Selanjutnya, perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM merupakan salah satu tonggak utama dalam negara hukum. “Sayangnya, apa yang terjadi hingga hari ini hanyalah sebuah paradoks,” ujarnya.
Lambannya penyelesaian kasus Munir telah menjadi refleksi nyata betapa tidak adanya keseriusan pemerintah dalam upaya pemajuan HAM.
Ismail mengatakan, janji penuntasan masalah HAM masa lalu yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam Hari HAM Sedunia pada 10 Desember 2020 nyatanya masih sebatas politik gincu pemerintah yang ditujukan untuk bersolek dan membangun citra.
“Untuk itu, SETARA Institute mendesak Presiden Jokowi untuk kembali membuka kitab Nawa Cita sebagai refleksi untuk semakin meneguhkan kembali janji dalam penghormatan dan penegakan HAM di Indonesia,” katanya.
Ismail mengatakan, ironis ketika laporan hasil TPF kasus Munir justru dinyatakan hilang dalam sebuah lembaga kepresidenan. Padahal, diktum kesembilan Perpres No. 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan TPF Kasus Meninggalnya Munir mengamanatkan bahwa pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan tim kepada masyarakat.
Alih-alih diumumkan ke publik, dokumen TPF tersebut justru telah hilang jejak. Padahal dokumen TPF seharusnya dapat menjadi kunci utama dalam menguak cerita yang sesungguhnya di balik kasus pembunuhan Munir.
“Lagi-lagi, stagnasi penyelesaian kasus Munir menunjukkan betapa impunitas masih melanggeng di negara ini,” kata Ismail.
Padahal, negara telah menyetujui adanya rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) PBB untuk menguatkan komitmen dan meneruskan usaha melawan impunitas.
“Oleh karena itu, SETARA Institute mendesak negara untuk semakin meneguhkan komitmennya dalam menghapus impunitas di Indonesia, sebab pelanggengan terhadap impunitas adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap upaya perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia,” pungkasnya. (*)
Editor/DR