Pelapor korupsi, Nurhayati, malah dijadikan tersangka korupsi. Hukum ambyar. Nurhayati pun berontak, via medsos. Sampai Menko Polhukam Prof Mahfud MD turun bicara. Keras. Polisi – Jaksa saling kelit. Kok bisa?
Apa pun bisa terjadi. Kalau sudah heboh, baru diseriusi. Sebagaimana budaya anak-anak Indonesia, di malam jelang ujian sekolah, barulah belajar.
Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto, kepada pers, Sabtu (26/2/2022) berterima kasih kepada siapa pun membantu memviralkan kasus Nurhayati.
Komjen Agus: “Terima kasih kepada pers dan penggiat medsos yang telah memviralkan hal ini. Saya tegaskan, Bapak Kapolri menekankan kepada jajaran untuk selalu introspeksi diri. Tidak anti kritik.”
Bukti: Nurhayati sudah dibebaskan dari status tersangka.
Dilanjut: “Sehingga kalau ada hal yang salah atau merusak rasa keadilan masyarakat, ya kami harus berani mengambil sikap. Dan, hasil gelar perkara itulah sikap kami selaku atasan penyidik dan pengawas.”
Ada ‘tapi’-nya. Tapi… Komjen Agus belum berencana menindak anggota, yang mungkin sengaja melanggar prosedur, sehingga Nurhayati jadi tersangka. Belum. Belum ke situ.
Komjen Agus: “Kan, bisa saja saat proses penyidikan kepala desa, ada dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Nurhayati. Sehingga ada petunjuk jaksa peneliti untuk mendalami peranan Nurhayati.”
Konstruksi kasus. Nurhayati, Kepala Urusan Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jabar. Karenanya, dia tahu ada korupsi. Dilakukan Kepala Desanya, Supriyadi.
Nurhayati menyerahkan uang (karena diminta) Supriyadi dari uang APBDes tahun anggaran 2018, 2019, 2020. Penyerahan 16 kali, senilai Rp818 juta.
Karena lama-lama takut, Nurhayati lapor ke Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Citemu. Ini sesuai prosedur. Tidak bisa langsung ke polisi. Ini dibenarkan Ketua BPD-nya, Lukman Nurhakim: “Betul,” ujarnya kepada pers, Kamis (24/2).
Ketua BPD kemudian lapor ke Polres Cirebon Kota. Diproses di sana.
Proses selesai, Polres melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Cirebon. Diproses. Ternyata dibalikkan lagi ke Polres, karena berkas dianggap tidak lengkap.
Diperbaiki Polres, dikirimkan ke Kejaksaan. Dibalikkan lagi ke Polres, karena berkas masih kurang lengkap. Dengan catatan, Nurhayati harus diperiksa.
Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Ibrahim Tompo kepada pers, Senin (21/2) mengatakan:
“Perbuatan Nurhayati melawan hukum. Karena memperkaya tersangka Supriyadi. Dari dasar itu penyidik menetapkan Nurhayati menjadi tersangka. Lalu berkas kami kirim ke Kejaksaan. Hasilnya, berkas dinyatakan P21 atau lengkap oleh Kejaksaan.”
Berarti, pihak Kejaksaan yang mendorong penyidik polisi agar Nurhayati jadi tersangka?
Ternyata, kata Kepala Kejaksaan Negeri Cirebon, Hutamrin kepada pers, 18 Februari 2022, bukan jaksa yang mendorong Nurhayati jadi tersangka. Bukan begitu.
Hutamrin menjelaskan, 23 November 2021, kejaksaan dan penyidik menggelar ekspose perkara ini. Hasilnya, antara Kejaksaan dan Kepolisian menyimpulkan harus ada pendalaman. Penyidikan dilanjutkan.
2 Desember 2021 ekspos lagi. Kejaksaan menerima SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dari Polres, menyatakan, Nurhayati tersangka.
Hutamrin: “Gitu. Jadi bukan jaksa penuntut atau Kajari, yang memerintahkan agar Nurhayati dijadikan tersangka.”
Apa pun, Nurhayati kecewa. Dia menyebarkan kronologi kasus ini ke medsos. Bentuk video berdurasi 2 menit 51 detik.
Nurhayati: “Saya pelapor korupsi, kok malah saya jadi tersangka korupsi. Bagaimana, sih?” katanya di video, yang kemudian viral.
Tak cukup di situ. Nurhayati bersama kuasa hukum membuat surat laporan ke Menko Polhukam, Prof Mahfud MD. Karena, Prof Mahfud terkenal ikhlas bela rakyat. Surat dikirim Rabu, 23 Februari 2022.
Tahu-tahu, status tersangka Nurhayati dibatalkan. Sesuai penjelasan Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto, di atas.
Prof Mahfud via Twitter, Minggu, 27 Februari 2022, menulis: “Insyaallah status tersangka (Nurhayati) tidak dilanjutkan. Tinggal formula yuridisnya.” Mahfud meminta, Nurhayati tidak perlu lagi datang ke kantor Menko Polhukam.
Sebelumnya: Saat berkas perkara berproses, pihak Polres Cirebon mengatakan, bahwa Nurhayati bukan pelapor kasus ini. Pelapornya pihak BPD Citemu.
Tampak, membingungkan. Rumit.
Kepala Desa Citemu, Supriyadi. (FOTO: kontroversinews.com)
Ketua BPD-nya, Lukman Nurhakim, menanggapi: “Kata polisi itu, betul. Tapi, awalnya Bu Nurhayati melapor ke BPD. Aturannya, BPD penampung aspirasi masyarakat maupun perangkat desa. Kemudian BPD melapor ke Polres Cirebon.”
Meskipun ada ‘bal-balan’ saling-silang antara Kepolisian – Kejaksaan di sini, belum diketahui, apakah ada unsur kesengajaan, atau tidak.
Adagium hukum mengatakan: In dubio pro reo. “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah. Daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”
“In dubio pro reo”, di Indonesia sering digunakan Mahkamah Agung (MA) dalam memutus perkara.
Tertuang dalam Putusan MA No. 33 K/MIL/2009. Salah satu pertimbangannya menyebutkan begini:
“Jika terjadi keragu-raguan, apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa. Yaitu, dibebaskan dari dakwaan. Hal ini sesuai asas In dubio pro reo.”
Nurhayati belum terdakwa. Baru tersangka. Yang sudah dicabut lagi.
Tapi, bukankah mustahil, seseorang bersalah (korupsi) dalam suatu perkara korupsi, lalu dia melaporkan orang lain di kasus tersebut kepada polisi? ‘Kan bunuhdiri?
Beda dengan, misalnya, beberapa orang ditangkap penyidik dalam satu kasus korupsi. Lantas, salah satu tertangkap, mengungkap detil korupsi yang belum diketahui penyidik.
Itu namanya whistleblower. Peniup peluit. Digambarkan sebagai wasit pertandingan bola, meniup peluit. Tanda ada pelanggaran.
Whistleblower sudah ditangkap duluan, barulah ‘menyanyi’. Demi keringanan hukuman. Sedangkan, Nurhayati orang pertama melapor. Sebelum ada perkara hukum.
Mengapa di perkara korupsi penyidik sering keliru menerapkan perintah hukum? Apakah terlalu rumit?
Jawabnya, yang paling tahu adalah penyidik sendiri. (*)